Ilmuwan, Menjual Kebenaran Ilmiah ?
Seperti diberitakan beberapa media nasional di bulan Januari 2005 yang lalu, bahwa dari tahun 1997-2002, anak perusahaan Monsanto di Indonesia telah membuat sedikitnya 700.000 dollar AS pembayaran gelap untuk setidaknya 140 arus uang dan untuk sejumlah pejabat Pemerintah Indonesia serta keluarganya. Tak tertutup kemungkinan, yang menerima suap tersebut adalah para peneliti di beberapa universitas dan lembaga penelitian terkait. Menjadi sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, mengapa para peneliti di Indonesia mudah menerima suap?
Menurut Maslow, dalam 5 hirarki kebutuhan manusia, kebutuhan perut (ekonomi) adalah kebutuhan dasar manusia. Demikian pula di dunia ilmiah, kebenaran ilmiah adalah kebutuhan dasar riset.
Idealnya, cendekiawan harus dibebaskan dari memikirkan kebutuhan-kebutuhan primer manusia, agar mereka dapat memikirkan hal-hal baru yang inovatif dalam penelitian dan pengembangan risetnya. Bila masih dibebani dengan pemenuhan kebutuhan primer, maka sulit untuk memaksimalkan perannya sebagai pemikir, pencari jalan keluar atas masalah-masalah di bidangnya.
Jaman keemasan iptek, dimulai oleh para dokter
Berdasarkan sejarah, di jaman islam dulu, jaman keemasan iptek dapat tercapai, justru dimulai oleh para dokter. Dokter digaji oleh pemerintah (kekhalifahan), banyak ataupun sedikitnya pasien yang datang memeriksakan diri.
Sejak jaman awal Islam, Muhammad SAW memerintahkan beberapa sahabatnya untuk belajar bahasa asing. Bersamaan dengan perluasan Islam ke daerah Eropa, buku-buku yang ditemukan di daerah perluasan Islam tsb, diterjemahkan ke bahasa arab.
Dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum, tingkat kesehatan masyarakat pun membaik, sehingga semakin jarang yang datang ke dokter. Buku-buku hasil penerjemahan dari bahasa asing ke bahasa arab, terpajang di rak-rak ruang tunggu di klinik. Dimaksudkan sebagai bahan bacaan mereka yang datang periksa, sambil menunggu giliran dipanggil dokter untuk diperiksa.
Ketika pasien jarang yang datang, maka giliran dokter yang membaca buku-buku yang terpajang di rak-rak ruang tunggu di kliniknya. Dari hasil bacaan, pemikiran-pemikiran baru muncul. Dari dokter, pengetahuannya meluas ke kimia, fisika, astronomi, hukum, dst. Bahkan dikisahkan bahwa di jaman Umar bin Khatab ada dokter yang minta PHK, karena sang dokter terus mendapatkan gaji dari pemerintah, tetapi tidak ada pasien yang datang ke tempat prakteknya. Pantang bagi dokter untuk makan gaji buta, alias menerima gaji terus, tetapi tak bekerja, karena tak ada pasien yang datang memeriksakan diri.
Dari mana pemikiran-pemikiran baru itu bisa muncul? Jelas, dari terbebasnya para dokter, dari urusan memikirkan masalah perut! Dapat kita maklumi, bahwa di jaman sekarang, inovasi-inovasi iptek muncul di negara-negara maju, karena para ilmuwan dan cendekiawannya, memang sudah terbebaskan dari masalah urusan perut.
Bisakah kita mengharapkan para dokter di Indonesia, sebagaimana halnya para dokter di jaman keemasan islam dulu? Sulit! Tak banyak dokter yang punya waktu untuk membaca jurnal-jurnal kesehatan yang ditulis oleh para koleganya di negara-negara maju, untuk mengikuti perkembangan dunia kesehatan. Bagi para dokter di Indonesia saat ini, mungkin masalah perut bukan menjadi urusan lagi. Tetapi dari sisi waktu, bisakah mereka punya kesempatan untuk membaca? Jangankan untuk buku-buku di luar bidang spesialisasinya, untuk jurnal-jurnal kedokteran sendiri belum tentu mereka sempat. Apalagi bila dokter terkenal, dari pagi hingga malam melayani pasien yang antri.
Apabila dokter tak bisa kita harap terlalu banyak untuk mengembangkan iptek di tanah air, bagaimana dengan harapan kepada para peneliti atau cendekiawannya? Susah juga. Mengapa? Mereka masih banyak dibebani oleh urusan perut! Gaji dari pemerintah kurang mencukupi kebutuhan hidup diri & keluarganya. Tak sedikit para peneliti dan dosen yang harus mencari tambahan di luar kantor untuk memenuhinya.
Selama kebutuhan primer itu tidak terpenuhi, maka segala potensi yang dimilikinya akan lebih dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, agar dapur dapat tetap terus mengepul. Inovasi-inovasi baru sangat sulit muncul dari para cendekiawan yang masih “membumi”, mengurusi kebutuhan primer perut, dengan mengais rejeki di bumi. Padahal inovasi-inovasi baru, baru akan muncul dari pemikiran-pemikiran mereka yang sudah “melangit” bebas sebebas-bebasnya, tanpa dikrecoki oleh masalah perut!
Nah, dalam kasus Monsanto, ketika hasil penelitian harus ditukar dengan 2 opsi: uang atau menyatakan kebenaran ilmiah, kita bisa memahami bila para peneliti di Indonesia lebih memilih yang pertama, karena untuk memenuhi kebutuhan primer-nya!
Carrot & Stick
Bagaimana melangitkan para cendekiawan di Indonesia agar inovasi-inovasi baru dapat bermunculan dari mereka? Bebaskan mereka dari urusan perut! Gaji dan tunjangan seorang profesor di Indonesia, sekitar Rp 3 juta. Sedangkan untuk hidup di kota besar di Indonesia bagi keluarganya, diperlukan 2-3 kali lipat dari jumlah itu. Dari mana harus ditutup? Ya dari nyambi ngajar di sana-sini, atau dari “proyek”. Bila cendekiawan disibukkan untuk ngobyek atau mroyek, bagaimana kita bisa mengharap mereka akan mampu melangitkan pemikirannya? Untuk membebaskan para cendekiawan Indonesia agar tidak terbebani bumi (perut), agar bisa melangitkan pemikirannnya, anggaran pemerintah tak memenuhi tuntutan tsb. Sebuah dilema! Tak hanya para cendekiawan saja masalah gaji tak mencukupi. Hampir menyeluruh di lingkungan PNS. Usulan Kwik Gian Gi lewat sistem carrot & stick mungkin cukup ampuh untuk mengatasinya.
Naikkan gaji (carrot) PNS, termasuk di dalamnya adalah para peneliti di lembaga-lembaga penelitian maupun departeman, ke tingkat wajar untuk hidup normal, sehingga masalah perut tak membebani pikiran mereka. Setelah itu, tegakkan aturan (stick)! Bila sudah dicukupi kebutuhan primernya, tetapi masih ngobyek atau tak berbuat sesuatu untuk kepentingan masyarakat, beri sanksi mereka!
Maka kita akan bisa berharap bahwa inovasi-inovasi baru akan bisa muncul dari kalangan cendekiawan kita. Selama masalah perut tidak terpenuhi, maka akal pikiran para cendekiawan kita akan lebih banyak tersedot untuk mengurusi dapur mereka agar tetap mengepul, ditambah dengan kurang kuatnya moral, maka kebenaran ilmiah pun bisa dibeli dengan lebih mudah,salah satu contohnya adalah kasus Monsanto.
Sudah saatnya, pemerintah lebih serius memikirkan cara untuk menyejahterakan para pegawai birokratnya. Bukan hanya para pejabat tingginya saja, tetapi ke seluruh pegawainya, khususnya para cendekiawan. Para cendekiawan adalah mereka yang bisa menyuarakan kebenaran ilmiah. Bila para cendekiawan-nya bisa dibeli, bagaimana dengan pegawai lainnya?
Menurut Maslow, dalam 5 hirarki kebutuhan manusia, kebutuhan perut (ekonomi) adalah kebutuhan dasar manusia. Demikian pula di dunia ilmiah, kebenaran ilmiah adalah kebutuhan dasar riset.
Idealnya, cendekiawan harus dibebaskan dari memikirkan kebutuhan-kebutuhan primer manusia, agar mereka dapat memikirkan hal-hal baru yang inovatif dalam penelitian dan pengembangan risetnya. Bila masih dibebani dengan pemenuhan kebutuhan primer, maka sulit untuk memaksimalkan perannya sebagai pemikir, pencari jalan keluar atas masalah-masalah di bidangnya.
Jaman keemasan iptek, dimulai oleh para dokter
Berdasarkan sejarah, di jaman islam dulu, jaman keemasan iptek dapat tercapai, justru dimulai oleh para dokter. Dokter digaji oleh pemerintah (kekhalifahan), banyak ataupun sedikitnya pasien yang datang memeriksakan diri.
Sejak jaman awal Islam, Muhammad SAW memerintahkan beberapa sahabatnya untuk belajar bahasa asing. Bersamaan dengan perluasan Islam ke daerah Eropa, buku-buku yang ditemukan di daerah perluasan Islam tsb, diterjemahkan ke bahasa arab.
Dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum, tingkat kesehatan masyarakat pun membaik, sehingga semakin jarang yang datang ke dokter. Buku-buku hasil penerjemahan dari bahasa asing ke bahasa arab, terpajang di rak-rak ruang tunggu di klinik. Dimaksudkan sebagai bahan bacaan mereka yang datang periksa, sambil menunggu giliran dipanggil dokter untuk diperiksa.
Ketika pasien jarang yang datang, maka giliran dokter yang membaca buku-buku yang terpajang di rak-rak ruang tunggu di kliniknya. Dari hasil bacaan, pemikiran-pemikiran baru muncul. Dari dokter, pengetahuannya meluas ke kimia, fisika, astronomi, hukum, dst. Bahkan dikisahkan bahwa di jaman Umar bin Khatab ada dokter yang minta PHK, karena sang dokter terus mendapatkan gaji dari pemerintah, tetapi tidak ada pasien yang datang ke tempat prakteknya. Pantang bagi dokter untuk makan gaji buta, alias menerima gaji terus, tetapi tak bekerja, karena tak ada pasien yang datang memeriksakan diri.
Dari mana pemikiran-pemikiran baru itu bisa muncul? Jelas, dari terbebasnya para dokter, dari urusan memikirkan masalah perut! Dapat kita maklumi, bahwa di jaman sekarang, inovasi-inovasi iptek muncul di negara-negara maju, karena para ilmuwan dan cendekiawannya, memang sudah terbebaskan dari masalah urusan perut.
Bisakah kita mengharapkan para dokter di Indonesia, sebagaimana halnya para dokter di jaman keemasan islam dulu? Sulit! Tak banyak dokter yang punya waktu untuk membaca jurnal-jurnal kesehatan yang ditulis oleh para koleganya di negara-negara maju, untuk mengikuti perkembangan dunia kesehatan. Bagi para dokter di Indonesia saat ini, mungkin masalah perut bukan menjadi urusan lagi. Tetapi dari sisi waktu, bisakah mereka punya kesempatan untuk membaca? Jangankan untuk buku-buku di luar bidang spesialisasinya, untuk jurnal-jurnal kedokteran sendiri belum tentu mereka sempat. Apalagi bila dokter terkenal, dari pagi hingga malam melayani pasien yang antri.
Apabila dokter tak bisa kita harap terlalu banyak untuk mengembangkan iptek di tanah air, bagaimana dengan harapan kepada para peneliti atau cendekiawannya? Susah juga. Mengapa? Mereka masih banyak dibebani oleh urusan perut! Gaji dari pemerintah kurang mencukupi kebutuhan hidup diri & keluarganya. Tak sedikit para peneliti dan dosen yang harus mencari tambahan di luar kantor untuk memenuhinya.
Selama kebutuhan primer itu tidak terpenuhi, maka segala potensi yang dimilikinya akan lebih dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, agar dapur dapat tetap terus mengepul. Inovasi-inovasi baru sangat sulit muncul dari para cendekiawan yang masih “membumi”, mengurusi kebutuhan primer perut, dengan mengais rejeki di bumi. Padahal inovasi-inovasi baru, baru akan muncul dari pemikiran-pemikiran mereka yang sudah “melangit” bebas sebebas-bebasnya, tanpa dikrecoki oleh masalah perut!
Nah, dalam kasus Monsanto, ketika hasil penelitian harus ditukar dengan 2 opsi: uang atau menyatakan kebenaran ilmiah, kita bisa memahami bila para peneliti di Indonesia lebih memilih yang pertama, karena untuk memenuhi kebutuhan primer-nya!
Carrot & Stick
Bagaimana melangitkan para cendekiawan di Indonesia agar inovasi-inovasi baru dapat bermunculan dari mereka? Bebaskan mereka dari urusan perut! Gaji dan tunjangan seorang profesor di Indonesia, sekitar Rp 3 juta. Sedangkan untuk hidup di kota besar di Indonesia bagi keluarganya, diperlukan 2-3 kali lipat dari jumlah itu. Dari mana harus ditutup? Ya dari nyambi ngajar di sana-sini, atau dari “proyek”. Bila cendekiawan disibukkan untuk ngobyek atau mroyek, bagaimana kita bisa mengharap mereka akan mampu melangitkan pemikirannya? Untuk membebaskan para cendekiawan Indonesia agar tidak terbebani bumi (perut), agar bisa melangitkan pemikirannnya, anggaran pemerintah tak memenuhi tuntutan tsb. Sebuah dilema! Tak hanya para cendekiawan saja masalah gaji tak mencukupi. Hampir menyeluruh di lingkungan PNS. Usulan Kwik Gian Gi lewat sistem carrot & stick mungkin cukup ampuh untuk mengatasinya.
Naikkan gaji (carrot) PNS, termasuk di dalamnya adalah para peneliti di lembaga-lembaga penelitian maupun departeman, ke tingkat wajar untuk hidup normal, sehingga masalah perut tak membebani pikiran mereka. Setelah itu, tegakkan aturan (stick)! Bila sudah dicukupi kebutuhan primernya, tetapi masih ngobyek atau tak berbuat sesuatu untuk kepentingan masyarakat, beri sanksi mereka!
Maka kita akan bisa berharap bahwa inovasi-inovasi baru akan bisa muncul dari kalangan cendekiawan kita. Selama masalah perut tidak terpenuhi, maka akal pikiran para cendekiawan kita akan lebih banyak tersedot untuk mengurusi dapur mereka agar tetap mengepul, ditambah dengan kurang kuatnya moral, maka kebenaran ilmiah pun bisa dibeli dengan lebih mudah,salah satu contohnya adalah kasus Monsanto.
Sudah saatnya, pemerintah lebih serius memikirkan cara untuk menyejahterakan para pegawai birokratnya. Bukan hanya para pejabat tingginya saja, tetapi ke seluruh pegawainya, khususnya para cendekiawan. Para cendekiawan adalah mereka yang bisa menyuarakan kebenaran ilmiah. Bila para cendekiawan-nya bisa dibeli, bagaimana dengan pegawai lainnya?
Comments
Post a Comment